Senin, 02 Februari 2015

Miskomunikasi di Ruang Rawat

Sudah berulangkali saya mendapat cerita yang yang sama, pasien mengeluh karena merasa tidak ditindaki atau dicueki oleh dokter atau perawat. “Masa cuma diinfus saja”, tidak diapa-apai”, keluh pasien.

Pada beberapa kasus, ketika berkunjung saya menyempatkan diri untuk ke ruang jaga, tanya bagaimana keadaan pasien dan apa tindakan yang sedang dan yang akan dilakukan. Ternyata, lewat infus dimasukkan antibiotik, antimuntah, antidemam, dan berbagai macam obat. Rencana tindakan hanya observasi. Visite atau kunjungan dokter pun sesuai kebiasaan, yaitu untuk rawat inap hanya di pagi hari, kecuali ada keadaan tertentu.

Perlahan saya jelaskan ke pasien atau keluarganya, apa sebenarnya yang sedang terjadi. Umumnya sebagian besar pasien atau keluarganya menjadi maklum. Tak lagi ‘panas’ dan merasa diabaikan.

Benang merah dari beberapa kejadian adalah, ada informasi penting yang tidak mengalir dari petugas medis ke pasien atau keluarganya. Mengapa bisa terjadi?

Bisa jadi petugas medis tidak komunikatif. Memang ada dokter yang kurang bisa berkomunikasi atau karena rutinitas menghadapi pasien yang puluhan kali per bulan, maka proses penjelasan penyakit terlewatkan. Akhirnya, setelah melakukan pemeriksaan atau tindakan, dokter atau perawat hanya diam saja dan langsung berlalu.

Dari sisi pasien dan keluarganya juga sering pasif menunggu. Semestinya, pasien atau keluarganya aktif bertanya kepada dokter atau perawat. Karena sudah hak pasien untuk mendapatkan informasi mengenai penyakitnya dan tindakan yang sedang atau akan diambil untuk mengatasi penyakit tersebut.

Jika faktor komunikasi ini bisa berjalan lancar, maka kecil kemungkinan adanya miskomunikasi. Ujung-ujungnya akan jarang kita temukan kasus tuntut-menuntut antara petugas medis dan pasien.